JAKARTA, Uraian.id– Masih segar dalam ingatan publik, bagaimana Kejaksaan Agung Republik Indonesia pada tahun 2024 yang lalu, berhasil mengungkap skandal besar korupsi tata niaga komoditas timah wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk pada dekade tahun 2015-2022, yang potensi kerugian negaranya fantastis menyentuh angka Rp 271 triliun.
Skandal ini menyeret nama-nama populer macam suami artis cantik Sandra Dewi yaitu Harvey Moeis dan Helena Lim beserta 14 tersangka lainnya. Terbaru, Kejaksaan Agung kembali mengungkap dugaan kasus korupsi besar di tubuh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Pertamina yang merugikan negara Rp 197,3 triliun.
Dalam keterangan persnya seperti dilansir tempo.co pada Senin tanggal 25 Februari 2025 lalu, Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung Abdul Qohar mengungkapkan, skandal korupsi ini menyangkut dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina, Sub Holding, dan Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) periode 2018-2023.
Hitungan kerugian negara tersebut, bersumber dari berbagai komponen, seperti kerugian ekspor minyak mentah dalam negeri, serta impor minyak mentah pihak ketiga atau broker.
“Impor BBM melalui broker, juga pemberian kompensasi dan pemberian subsidi karena harga minyak tadi menjadi tinggi,” ungkapnya.
Dalam kasus ini, Kejaksaan Agung menetapkan setidaknya 7 orang tersangka, salah satunya adalah Direktur Utama Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan, Direktur Optimasi Feedstock & Produk PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) Sani Dinar Saifuddin, dan Direktur PT Pertamina Internasional Shipping Yoki Firnandi.
Sementara pihak broker yang juga ditetap tersangka, yakni Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa Muhammad Keery Andrianto Riza, Komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim Dimas Werhaspati dan Komisaris PT Jenggala Maritim sekaligus PT Orbit Terminal Merak Gading Ramadan Joede.
Persekongkolan Jahat
Kejaksaan Agung menemukan adanya permufakatan dan persekongkolan jahat, antara penyelenggara negara dan pihak broker minyak. Ke 7 tersangka secara bersama-sama mengatur supaya produksi minyak dalam negeri berkurang sehingga terdapat ruang, diambilnya kebijakan impor untuk memenuhi kebutuhan.
Sebab, jika produksi minyak dalam negeri masih dapat memenuhi kebutuhan impor tidak dapat dilakukan, sebagai mana diatur
Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 42 Tahun 2018.
Faktanya, produksi dalam negeri masih sanggup memenuhi kebutuhan dan memenuhi standard kualitas bahan pasokan. Namun, barang dalam negeri tersebut ditolak oleh PT Pertamina Patra Niaga dengan alasan kualitas barangnya dibawah standar. Padahal sebetulnya, kesepakatan impor minyak mentah sudah terjadi kesepakan antara para tersangka.
“Namun, tersangka mengondisikan hasil rapat optimasi hilir (OH) untuk menurunkan readiness kilang, yang berujung pada penolakan minyak mentah dari kontraktor dalam negeri dan akhirnya mendorong impor,” kata penyidik Kejaksaan Agung dilansir dari Tempo.co.
Bukan hanya mengatur untuk menekan produksi minyak mentah dalam negari berkurang, hingga kran impor dapat dibuka. Kejaksaan Agung juga mengendus adanya dugaan Pertamina melalui anak usahanya itu melakukan pengoplosan minyak dari RON 90 menjadi pertamax.
Hasil impor minyak mentah dari luar negeri itu dimasukkan terlebih dahulu kedalam strorage yang ada di Merak Banten. Selanjut dilakukan pencampuran supaya ada penambahan kualitas menjadi merek dagang RON 92. (Red/TH)












