INTERNASIONAL, Uraian.id – Mahkamah Agung Amerika Serikat dijadwalkan pada Rabu 05 November 2025 membahas gugatan hukum terhadap penggunaan wewenang darurat oleh Presiden Donald Trump untuk memberlakukan tarif luas pada berbagai negara mitra dagang. Sidang ini dinilai sebagai persimpangan penting dalam menentukan sejauh mana kekuasaan presiden dapat digunakan dalam menetapkan kebijakan perdagangan nasional.
Kasus ini diajukan oleh koalisi usaha kecil di AS bersama sejumlah negara bagian, yang menilai penggunaan Undang-Undang Kekuatan Ekonomi Darurat Internasional (International Emergency Economic Powers Act/IEEPA) oleh Trump telah keluar dari jalur hukum. IEEPA, yang diterbitkan pada 1977, memberikan kewenangan kepada presiden untuk menetapkan sanksi ekonomi dalam menghadapi ancaman “tidak biasa dan luar biasa”.
Namun, para penggugat menegaskan bahwa tarif impor tidak termasuk dalam lingkup kewenangan tersebut. Mereka menilai tarif impor, menurut konstitusi AS, merupakan ranah Kongres. Oleh karena itu, kebijakan tarif yang diberlakukan Trump dinilai melanggar hukum dan harus dibatalkan. Jika gugatan ini dikabulkan, pemerintah federal dapat dipaksa mengembalikan sebagian dari sekitar USD 90 miliar atau sekitar Rp1.500 triliun yang telah dipungut sejak kebijakan tarif diberlakukan.
Presiden Trump memulai penerapan kewenangan darurat tersebut pada Februari, dengan menerapkan tarif pada produk-produk dari China, Meksiko, dan Kanada. Langkah tersebut kemudian diperluas pada April, mencakup hampir seluruh mitra dagang Amerika Serikat. Trump berulang kali menyebut defisit perdagangan AS sebagai kondisi darurat nasional sehingga memerlukan langkah luar biasa.
Dalam sebuah unggahan di platform Truth Social pada Agustus lalu, Trump memberikan peringatan keras bahwa pembatalan kebijakan tarif akan berdampak buruk bagi ekonomi AS. Menurutnya, langkah itu akan menghancurkan perekonomian nasional dan melemahkan posisi Amerika Serikat dalam negosiasi perdagangan internasional di masa depan.
Pada akhir pekan lalu, Trump menyatakan tidak akan menghadiri sidang Mahkamah Agung guna menghindari apa yang disebutnya sebagai gangguan berlebihan, sembari kembali memperingatkan bahwa kekalahan dalam kasus ini akan melemahkan posisi AS secara global.
Perdebatan utama para kritikus berkisar pada interpretasi terhadap IEEPA. Mereka menegaskan bahwa undang-undang tersebut memang memungkinkan presiden mengatur perdagangan dalam konteks darurat tertentu, namun tidak memberikan mandat untuk menetapkan tarif, karena fungsi itu secara konstitusional melekat pada Kongres. Dengan demikian, kebijakan tarif yang diberlakukan Trump dinilai sebagai preseden berbahaya yang memperluas kekuasaan eksekutif melebihi batas yang ditetapkan.
Kasus ini muncul setelah serangkaian keputusan pengadilan tingkat bawah. Pada Agustus, pengadilan banding federal memutuskan dengan skor 7-4 bahwa tindakan Trump dalam menerapkan tarif melampaui kewenangannya berdasarkan hukum yang berlaku. Selain itu, putusan terpisah pada 29 Agustus juga menyimpulkan bahwa kebijakan tarif tersebut diterapkan tanpa otorisasi dari Kongres.
Keputusan akhir Mahkamah Agung, yang diperkirakan keluar pada awal tahun depan, dipandang memiliki dampak signifikan terhadap arah kebijakan perdagangan AS, tidak hanya dengan negara-negara seperti China, Kanada, dan Meksiko, tetapi juga dengan Uni Eropa dan sejumlah mitra dagang global lainnya. Hasil putusan ini akan menjadi penentu apakah presiden memiliki kelonggaran luas dalam menetapkan kebijakan perdagangan di masa darurat, atau apakah Kongres tetap menjadi pemegang otoritas tertinggi dalam urusan tarif dan regulasi ekonomi eksternal. (Red/KH)
Sumber: Anadolu












