SUMENEP, Uraian.id – Polemik hukum yang menjerat jasa layanan transfer Bang Alief kembali mengemuka. Kuasa hukum pemilik usaha, Muhammad Fajar Satria, menuding penyidik Polres Sumenep serta pihak Bank Jatim melakukan tindakan prematur dan tidak sesuai prosedur dalam kasus dugaan pembobolan mesin EDC senilai Rp23 miliar.
Menurut kuasa hukum, Kamarullah, tuduhan tersebut bukan hanya tidak masuk akal secara teknis, tetapi juga sarat dugaan kriminalisasi. Ia menegaskan bahwa sejak usaha ini berdiri pada 2010 hingga 2018, Bang Alief tidak pernah terlibat kasus hukum ataupun laporan pelanggaran dari perbankan mana pun. Bahkan, Fajar disebut mendapat apresiasi dari sejumlah bank nasional karena dinilai jujur dan profesional dalam mengelola transaksi nasabah.
“Fajar sudah menjalankan usaha ini lebih dari satu dekade tanpa masalah. Baru ketika bekerja sama dengan Bank Jatim pada 2019–2022 muncul narasi pembobolan Rp23 miliar menggunakan EDC. Itu tuduhan yang tidak logis,” tegasnya (03/11).
Untuk membantah tuduhan tersebut, pihak Bang Alief telah memaparkan mekanisme kerja mesin EDC dari berbagai bank. Menurut Fajar dan tim hukumnya, tidak ada ruang manipulasi dalam sistem EDC, karena setiap transaksi selalu tersinkronisasi otomatis dengan sistem bank secara real-time.
“Setiap transaksi melalui EDC itu melewati otorisasi bank dan terekam lengkap. Tidak mungkin ada pembobolan dengan alat itu. Semua pihak perbankan yang kami hubungi sepakat dengan hal ini,” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa simulasi sistem terbuka dilakukan untuk menunjukkan kepada publik bahwa tuduhan tersebut tidak memiliki dasar teknologi dan logika operasional perbankan.
Selain menyoal dasar tuduhan, Kamarullah juga mengecam tindakan penyidik Polres Sumenep yang melakukan penggeledahan dan penyitaan dana operasional usaha tanpa bukti kuat. Uang tersebut, disebutkan, merupakan modal kerja sekaligus anggaran gaji 18 karyawan.
“Kami sudah tegaskan ke penyidik bahwa dana itu adalah modal usaha. Tapi tetap disita tanpa dasar hukum yang jelas. Itu tindakan prematur dan sangat merugikan,” ujarnya.
Akibat penyitaan tersebut, operasional Bang Alief lumpuh total. 18 karyawan kehilangan pekerjaan, sementara nasabah dan warga yang selama ini bergantung pada layanan transfer usaha lokal itu kesulitan melakukan aktivitas keuangan seperti biasa.
“Ini bukan hanya perkara hukum. Ini menyangkut kehidupan 18 keluarga. Ada aspek sosial dan kemanusiaan yang diabaikan,” tambahnya.
Meski diseret dalam proses hukum, Kamarullah menegaskan bahwa Bang Alief masih mengantongi izin usaha resmi dan tidak pernah disegel pihak berwenang. Penutupan operasional terjadi bukan karena pelanggaran, melainkan karena tekanan dan tindakan aparat.
“Usaha ini sebenarnya masih sah beroperasi. Yang membuat berhenti adalah tindakan penyidik yang tidak proporsional. Itu mematikan usaha rakyat,” katanya.
Tidak tinggal diam, tim hukum Bang Alief resmi melaporkan dugaan pelanggaran prosedur penyidik ke Polda Jawa Timur dan Mabes Polri. Mereka juga mendesak agar dana yang disita dikembalikan.
“Kami minta uang itu dikembalikan. Itu bukan hasil kejahatan, melainkan modal usaha dan hak pekerja,” tegasnya.
Laporan juga ditembuskan ke kejaksaan di berbagai tingkatan. Pihak Bang Alief berharap aparat penegak hukum menegakkan asas objektivitas, transparansi, dan keadilan dalam kasus ini.
“Kami ingin proses hukum berjalan dengan nurani, bukan tekanan atau prasangka. Negara harus hadir melindungi rakyat kecil yang mencari nafkah dengan jujur,” tandasnya (Red/KH).












