SUMENEP, Uraian.id – Program penguatan literasi melalui penambahan koleksi buku di Dinas Perpustakaan dan Kearsipan (Disperpusip) Kabupaten Sumenep hingga penghujung Oktober 2025, realisasi anggaran pengadaan buku belum juga berjalan, meski anggarannya telah disiapkan sejak awal tahun.
Kondisi ini memicu kritik dari kalangan wakil rakyat yang menilai lambannya eksekusi program literasi berpotensi memperlambat peningkatan kualitas pendidikan dan budaya baca masyarakat.
Kepala Disperpusip Sumenep, Rudi Yuyianto, tidak menampik stagnasi tersebut. Ia menyebut, proses persiapan pengadaan buku masih dalam tahap finalisasi dan direncanakan mulai terealisasi pada akhir bulan ini.
“Masih tahap finalisasi, insyaallah akhir bulan ini sudah mulai direalisasikan,” ujar Rudi, Kamis (30/10).
Lebih jauh ia menjelaskan, anggaran awal sebesar Rp100 juta untuk pembelian buku mengalami penyesuaian pada P-APBD dan menyusut menjadi Rp60 juta. Dana tersebut, kata Rudi, akan dialokasikan sepenuhnya untuk menambah koleksi buku fisik.
Menurutnya, kebutuhan buku digital tidak menjadi prioritas saat ini karena akses e-book telah tersedia melalui Perpustakaan Nasional (Perpusnas) maupun Perpustakaan Daerah Jawa Timur (Perpusda Jatim).
“Untuk e-book sudah difasilitasi oleh pusat dan provinsi, jadi kami fokus menambah koleksi fisik di perpustakaan daerah,” jelasnya.
Rudi juga mengakui minimnya ketersediaan bahan bacaan di perpustakaan daerah. Banyak literatur penting belum tersedia, terutama bacaan yang dibutuhkan pelajar, mahasiswa, dan masyarakat umum.
“Memang masih banyak bahan bacaan yang perlu kami lengkapi,” tambahnya.
Di sisi lain, DPRD Kabupaten Sumenep merespons lambannya kinerja Disperpusip dengan nada tegas. Anggota Komisi IV DPRD Sumenep, Sami’oeddin, menilai penundaan realisasi anggaran tersebut tidak seharusnya terjadi mengingat urgensi literasi bagi daerah.
“Anggarannya sudah disiapkan, jadi sebaiknya jangan ditunda lagi. Buku yang dibeli pun harus disesuaikan dengan kebutuhan warga, terutama pelajar dan mahasiswa,” tegas politisi senior PKB itu.
Ia mengingatkan bahwa pemerintah daerah memiliki tanggung jawab moral dalam membangun budaya membaca. Ketika anggaran sudah tersedia, namun belanja tak kunjung dilakukan, maka manfaat program bagi publik ikut tertunda.
Lebih dari sekadar pengadaan koleksi, Sami’oeddin mendesak Disperpusip menghadirkan inovasi nyata untuk menarik minat masyarakat. Menurutnya, perpustakaan tidak boleh hanya bertumpu pada penumpukan koleksi buku, tetapi harus menghadirkan ekosistem literasi yang hidup dan modern.
“Perpustakaan jangan sekadar jadi tempat menyimpan buku. Harus ada ide kreatif supaya masyarakat tertarik datang, seperti kegiatan literasi, pojok baca tematik, atau ruang diskusi interaktif,” tukasnya. (Red/KH)












