INTERNASIONAL, Uraian.id – Gelombang kehancuran di Jalur Gaza mencapai titik yang semakin mengerikan. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melaporkan bahwa hampir seluruh kawasan padat penduduk itu kini hampir rata dengan tanah setelah dua tahun digempur serangan militer Israel bertubi-tubi.
Data terbaru menunjukkan sekitar 81 persen bangunan di Gaza telah rusak, menjadikan krisis kemanusiaan di wilayah tersebut salah satu yang paling parah dalam sejarah modern.
Juru Bicara PBB, Farhan Haq, dalam keterangan pers yang disampaikan Senin 03 November 2025 mengutip laporan Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA), menyebutkan bahwa meski upaya bantuan terus digiatkan, skala kehancuran tidak terbayangkan yang berdampak terhadap tidak terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat sipil.
“Peningkatan upaya bantuan yang berlangsung telah membawa dampak positif bagi warga di Jalur Gaza, meski masih diperlukan lebih banyak dukungan agar seluruh kebutuhan dapat terpenuhi tanpa meninggalkan siapa pun,” ujarnya.
Selain bantuan pangan dan kesehatan, PBB juga mulai mengerjakan restorasi fasilitas pendidikan yang rusak parah akibat pemboman. Haq menekankan bahwa renovasi kini tengah berjalan di empat sekolah, dan dalam tiga hari terakhir, “PBB dan mitra kami telah mendukung pembukaan kembali lima ruang belajar sementara di Kota Gaza.”
Merujuk analisis Pusat Satelit PBB, Haq menyatakan bahwa sekitar 81 persen dari seluruh bangunan di Jalur Gaza rusak.
Angka ini menggambarkan skala tragedi yang begitu meluas sehingga hampir seluruh tatanan kehidupan warga sipil lumpuh total:
Lebih dari 123.000 bangunan dipastikan hancur
50.000 bangunan rusak berat atau sedang
24.000 bangunan kemungkinan besar rusak dan belum diverifikasi
Situasi paling parah terjadi di Gaza Utara. “Gaza Utara mengalami peningkatan kerusakan terbesar sejak Juli 2025, dengan hampir 5.700 bangunan baru terdampak,” jelasnya.
Di tengah reruntuhan bangunan, sistem air, listrik, dan kesehatan yang kolaps, jutaan warga terus berjuang untuk bertahan hidup. Banyak keluarga kini berlindung di gedung sekolah atau tenda bantuan, hidup dalam kondisi minim air bersih, makanan terbatas, dan layanan medis yang sangat terbatas.
Sejak gelombang serangan Israel dimulai pada Oktober 2023, lebih dari 68.000 warga Gaza tewas. Angka ini terus bertambah dari hari ke hari. Sebagian besar korban adalah perempuan dan anak-anak, membuat dunia internasional semakin keras mendesak penghentian kekerasan.
Di sisi lain, trauma psikologis bagi para penyintas juga menjadi perhatian serius, mengingat dua tahun konflik dan pemboman tanpa jeda telah merampas rasa aman seluruh generasi di Gaza.
Meski gencatan senjata Israel–Hamas telah disepakati pada 10 Oktober berdasarkan rencana perdamaian 20 poin yang diinisiasi Presiden AS Donald Trump, ketenangan tidak bertahan lama. Israel tetap melakukan serangan berulang, melanggar kesepakatan yang seharusnya menjadi harapan bagi warga yang tersisa.
Kondisi ini semakin memunculkan pertanyaan besar dari komunitas internasional mengenai komitmen terhadap perdamaian dan perlindungan warga sipil sebagaimana dijamin dalam hukum internasional.
Sementara upaya diplomasi terus berjalan, PBB kembali menegaskan bahwa urgensi terbesar saat ini adalah memastikan bantuan kemanusiaan masuk tanpa hambatan. Setiap menit berarti bagi warga Gaza yang kini hidup dalam kehancuran nyaris total.
Dunia menanti langkah nyata negara-negara besar dan organisasi internasional untuk memastikan tragedi kemanusiaan ini tidak terus berlangsung tanpa akhir. (Red/KH)
Sumber: Anadolu












